Arie Ardiansyah (kiri), Grahadea Kusuf (kanan) |
Ketidakcocokan bekerja kantoran di Indonesia
Di tahun 2005, Dea sempat menjalani aktivitas sebagai pekerja kantoran di Sun Microystems (sekarang di akuisisi Oracle) sebagai Business Development Staff, lalu menduduki posisi Community Development Officer di perusahaan yang sama. 2,5 tahun kemudian, Dea mengundurkan diri dan melanjutkan kuliah S2 di MBA-ITB Bandung dan membuat tesis dengan materi rencana strategi bisnis untuk Kuassa. “Terlalu banyak tesis atau penelitian yang hanya on-paper di Indonesia, sedikit sekali yang diupayakan untuk tidak hanya on paper, tetapi bisa menjadi bisnis yang terus berkembang,” jelas Dea. Sementara Arie juga mengalami masalah serupa, yaitu tidak berhasil menemukan kantor yang bisa mengakomodir keinginannya untuk menghasilkan uang dari hobinya, mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan musik.
Antara musisi dan programming
Baik Dea dan Arie, keduanya sama-sama menyukai musik dan mengenal musik lebih dulu sebelum menceburkan diri ke dunia programming. Dea sempat bergabung dalam band Arie sebagai pemain synthesizer dan hingga kini masih eksis bersama Homogenic. Sementara Arie sudah terjun di dunia musik sejak SMP dengan menjadi pemain bas pengiring angklung dan kerap tampil di berbagai acara daerah dan nasional.
Setelah lulus kuliah, Arie memutuskan mendalami ilmu programming, meskipun sebelumnya ia kuliah di jurusan Ilmu Pertanahan. Karena sebelumnya banyak bergelut dengan musik, maka ia memutuskan untuk mempelajari proses pembuatan audio software. “Setelah menguasai Digital Signal Production (DSP) saya mulai menyebarkan produk buatan sendiri secara gratis melalui blog pribadi. Ternyata sambutannya baik dari berbagai negara,” jelasnya. Sementara Dea yang sempat merasakan bekerja di perusahaan berbasis teknologi mengaku banyak menghadapi keluhan dari sesama developer dimana Indonesia lebih banyak dijadikan tempat outsource dengan upah yang tidak seberapa. “Kondisi itu membuat saya sadar bila memiliki brand atau perusahaan besar, akan bisa menjual apapun. Selain itu karena saya selain bermusik juga hobi mengotak-atik software sejak SMP mendorong saya untuk menekuni bidang ini,” jelas pengagum Mark Shuttleworth dan Bill Gates ini.
Di tengah perjalanan menyelami dunia programming, Arie menemui masalah. Komputernya beserta speaker semi profesionalnya rusak. Sementara kondisi keuangan pada saat itu tidak memungkinkan untuk membeli perangkat baru. “Awalnya saya berniat untuk menjalankan bisnis software audio dengan meminjam uang ke orang terdekat dan sayangnya tidak berhasil,” beber pengagum Bob Sadino dan Nicola Tesla ini. Tidak jauh berselang dari kejadian itu, ia kembali menghubungi Dea yang kebetulan memiliki ketertarikan yang sama dan mulai menjalankan Kuassa dengan modal yang pinjaman dari orang lain.
Logo mirip NAZI dan banjir order
Siapa sangka bila produk buatan Indonesia justru diminati di pasar global. Kuassa adalah salah satu yang beruntung mendapat kesempatan itu. Namun di awal-awal, terkenalnya nama Kuassa di ranah global juga menjadi batu sandungan lantaran logo “SS” pada Kuassa tadinya dirancang berwarna merah dan mirip dengan lambang NAZI yang sensifif di sebagian pasar. “Tanggapan sinis bermunculan dari Eropa, utamanya Jerman. Setelah kami mengubahnya menjadi silver masalah baru mereda,” jelas Arie.
Ada sandungan, bukan berarti lantas tidak ada keuntungan. Dea mengaku dirinya kaget saat pertama kali mendapat keuntungan. “Pertama kali kita dapat sales yang signifikan hanya dalam tempo sehari, sempat kaget dan takut sendiri dikala order mengalir deras sewaktu refresh-refresh browser, kata penyuka serial Star Trek dan Game of Thrones ini.
Keluarga dan hobi
Meskipun cukup sibuk dengan aktivitas mengurus startup, Dea dan Arie sama-sama tetap meluangkan waktu untuk menjalankan hobinya. Dea misalnya, selain aktif di Homogenic, diriinya juga terkadang menjadi DJ di beberapa acara, pun halnya dengan Arie yang di waktu luang tetap bermain band. Namun yang pasti, alokasi waktu untuk keluarga adalah sebuah keharusan. Dea misalnya, yang kerap lari pagi dengan istrinya sebelum beraktivitas dan saat sedang tidak ada jadwal manggung maka ia akan mengajak anak-anaknya bermain. Sementara Arie tiap pagi meluangkan waktu untuk bermain bersama anak-anaknya sebelum mulai beraktivitas.
Tak ketinggalan, untuk memperluas pengetahuan mengenai bisnis yang tengah mereka geluti Arie dan Dea mengaku harus banyak membaca. Arie saat ini sedang banyak membaca buku-buku yang berkaitan dengan bisnis, C++ dan DSP, sementara Dea tengah membaca buku Self Driving karangan Rhenald Khasali, dan manga-manga buah karya Naoki Urasawa.
Di tahun keempat menjalankan startup, Arie dan Dea masih kerap mengalami ketakutan menjadi entrepreneur. Arie misalnya ia mengaku masih kerap khawatir bila tidak bisa menggaji karyawan sementara Dea kerap was-was bila gaya hidupnya meningkat, sementara usaha yang digelutinya tidak berkembang. Namun untuk mengatasi masalah-masalah semacam ini keduanya memiliki tips sederhana:
Tanamkan di alam bawah sadar bila kamu pasti menang, banyak berdoa, konsisten dan fokus.
(Diedit oleh Hendri Salim)
Sumber: idtechinasia