E-commerce
sebuah keharusan bagi bisnis masa kini dan masa depan. Kehadirannya bukan hanya
telah mengubah pola distribusi yang selama ini terjadi, namun juga akan
memperkuat bisnis konvensional.
Seperti pernah diungkapkan Yadi Budhisetiawan,
Managing Director Force One-Selling and Distribution Consultant, ada lima
saluran distribusi yang berkembang saat ini.
Kelimanya
mencakup saluran distribusi tradisional, arus bawah—pedagang asongan di
industri FMCG (fast moving consumer goods), specialties (gerai khusus yang
menjual jenis barang tertentu semisal Ace Hardware), institusional seperti
sekolah dan SPBU, dan terakhir e-commerce.
Meskipun lahir paling buncit, e-commerce sebagai
saluran distribusi diprediksi bakal berkembang pesat di masa depan. Lembaga
riset ICD (www.icd-research.com) misalnya, memprediksi pasar e-commerce
Indonesia akan tumbuh 42% dari tahun 2012–2015—lebih tinggi dibandingkan
Malaysia (14%), Thailand (22%), dan Filipina (28%).
Sementara menurut laporan McKinsey Consumer
Insights (www.mckinsey.com/insights) di China dan Indonesia 2013, jumlah
penetrasi e-commerce di kalangan pengguna internet di kota-kota Indonesia dan
seluruh China adalah 7% dan 32%. Dengan data ini, Hadi Wenas, pengamat dan
praktisi e-commerce, menyampaikan bahwa dalam lima tahun ke depan belanja
online di Indonesia akan meningkat 10 kali lipat, dari 3% (normalisasi dari
kota Indonesia ke seluruh Indonesia) menjadi 30%.
Sebagaimana dikatakan Wenas, belanja online tidak
hanya menjadi fenomena di kota-kota besar seperti Jakarta, tapi juga mulai
menjangkiti kota-kota kecil di luar Jakarta. Contoh data dari salah satu
e-commerce terkenal di Indonesia; pada Januari tahun 2012, Jakarta masih
menyumbang 41% belanja online, enam bulan selanjutnya turun menjadi 22%.
“Sekarang mungkin sudah di bawah 20%,” tutur Wenas yang ditemui di kantornya
beberapa waktu lalu.
Menariknya, e-commerce yang bertumpu pada internet,
jelas Wenas, akan membuat rantai distribusi (value chain) menjadi rancu. Pola
hubungan antara pabrik – pemilik merek – wholesaler – distributor – sourcing
& merchandising – retailer akan berubah.
Tiap
pihak bisa melakukan potong kompas, sehingga mata rantai distribusi bisa lebih
pendek. “Peritel bisa langsung membuat merek sendiri dan langsung berhubungan
dengan pabrik. Sementara manufacturer bisa langsung berhubungan dengan
konsumen,” jelasnya.
Sifat e-commerce yang bisa memangkas jalur
distribusi membuat pola bisnis ini digemari banyak pebisnis, termasuk pebisnis
pemula berskala UKM. Pebisnis UKM yang bermodal pas-pasan bisa langsung
berhubungan dengan pabrik dan menjual produknya langsung kepada konsumen akhir.
Sayangnya, kata Wenas, masih belum banyak yang paham cara berbisnis online.
“Yang sukses memang banyak, tapi yang gagal juga banyak,” tutur pria yang
menjadi CEO PT aCommerce Solusi Lestari (www.acommerce.asia), perusahaan
penyedia jasa teknologi, marketing, dan operasional untuk bisnis ritel dan
brand yang merambah e-commerce.
Lain ceritanya dengan enterprise (perusahaan
besar). Mereka punya modal untuk membangun e-commerce, namun sayangnya mereka
masih berada di tahap awal memasuki e-commerce. Sekadar punya website dan akun
media sosial. Fungsinya tidak lebih sebagai media informasi perusahaan dan info
produk serta media engagement (media sosial). “Sayang kalau hanya sebagai media
informasi, kenapa tidak sekalian dijadikan channel penjualan,” tutur Wenas.
Menurut dia, ada dua hal yang menyebabkan
perusahaan besar terkesan masih “wait and see” dalam penerapan e-commerce.
Pertama, masalah belief. Mereka merasa bisnis cara offline masih tinggi
pertumbuhannya, dan masih menunggu momen yang tepat untuk masuk.
Kedua, soal ekspektasi. Mereka berharap sekali
masuk e-commerce langsung menuai hasil laiknya menjalankan bisnis offline. Ini
dilema, karena kalau perusahaan ingin masuk online sekarang ekspektasi harus
diturunkan, sementara telat masuk akan ketinggalan. “Kalau masuk sekarang
persaingan belum terlalu ketat, kalau nanti akan semakin ramai. Jadi, nanti
akan sama saja persaingan di offline dan di online,” jelas dia.
Online to Offline
Sebenarnya ada jalan keluar bagi bisnis offline
(konvensional) yang masih ragu-ragu atau masih taraf coba-coba e-commerce.
Mereka bisa melakukan strategi O2O commerce (online to offline). Sederhananya
begini, pemilik merek berpromosi di online (website atau media sosial), tapi
transaksi bisnis berlangsung di gerai konvensional.
Ada tiga cara yang bisa ditempuh untuk melakukan
strategi O2O commerce, yakni Facebook offers, coupon offers, dan click and
collect. Facebook offers sangat cocok diaplikasikan di Indonesia karena hampir
semua pengguna internet Indonesia punya akun Facebook. Macy’s, jaringan
department store di AS, sudah menerapkan cara ini. Bentuk promosi misalnya
menawarkan potongan harga melalui Facebook kepada pemilik akun Facebook, tapi
pembeliannya tetap dilakukan di toko.
Coupon offers sudah sering dilakukan oleh gerai
food and beverage seperti restoran. Penawaran kupon biasanya dilancarkan
melalui situs-situs daily deals. Strategi ini sebenarnya bisa diterapkan oleh
berbagai gerai offline atau konvensional. Adapun click and collect berarti
belanja secara online, namun barang belanjaan diambil di toko konvensional.
Cara seperti ini sudah ditempuh oleh Tesco, jaringan ritel dari Inggris.
Ketiga cara di atas sebenarnya hasil akhirnya
menggiring orang datang ke toko, sehingga toko tetap ramai dan ada peluang
mereka menambah barang belanjaan di sana. “Ketiga contoh di atas menunjukkan
offline dan online bisa saling bersinergi,” jelasnya.
Offline dan online memang saling menguatkan, bukan malah saling membunuh. Online bukanlah substitusi bagi offline, melainkan saling komplementer. Online ibaratnya cabang baru bagi gerai, sehingga online akan meningkatkan omzet penjualan bukan malah menggerogoti omzet gerai.
Dia memberi contoh gerai Planet Sports
(www.planetsports.net) yang berhasil menyinergikan offline dan online. Karena
sudah memiliki ekuitas merek yang kuat di ranah offline, gerai milik MAP (Mitra
Adi Perkasa) ini akhirnya membuat e-commerce planetsports.net. Itu salah satu
contoh strategi O2O commerce. “Online akan saling complementary dengan offline,
tidak akan terjadi kanibalisme. Keduanya akan saling co-existence,” tegasnya.
Tony Burhanudin/Foto: Lia