Tuesday 10 March 2015

Jenuh dengan variasi konten TV dan video online lokal, Dennis Adhiswara dirikan Layaria


Beberapa tahun belakangan siaran televisi lokal makin tidak jelas arahnya, mulai dari beragam kontroversi acara musik pagi sampai program bermasalah yang tetap diganjar penghargaan. Tak mengherankan bila sebagian pihak yang terlibat dalam industri kreatif berbasis video mencoba membuat wadah sendiri untuk menyalurkan kreativitas dan menghadirkan konten berkualitas. Salah satu medium yang kerap digunakan adalah YouTube, seperti yang dilakukan Sacha Stevenson dengan konten-konten kritisnya mengenai Indonesia dan LastDay Production yang mencoba mengangkat fenomena sosial kaum urban. 

Kejenuhan akan konten tak berkualitas tersebut juga dialami oleh aktor dan sutradara Dennis Adhiswara, yang akhirnya memutuskan untuk mendirikan online video multi channel network Layaria di pertengahan 2012 lalu. Sang founder yang namanya lebih dulu terkenal melalui film Ada Apa Dengan Cinta di tahun 2002 ini berbagi cerita dengan Tech in Asia mengenai startupnya.


Gabungkan irisan industri tayangan publik


Dennis menyederhanakan istilah online video channel network sebagai gabungan dari studio TV, agensi, dan inkubator bisnis. Lebih lanjut ia menjelaskan yang dilakukannya bersama tim Layaria mencakup akuisisi creator partner (pihak yang memiliki atau membuat konten video), pengembangan content production, inkubasi dan akselerasi creator partner, manajemen talenta sampai distribusi promosi hasil karya creator partner. 

Dengan menyediakan layanan gabungan yang dicari dari industri layanan publk, Dennis berharap Layaria bisa menjadi wadah untuk talenta lokal yang tersebar di seluruh Indonesia. “Potensinya banyak, tapi kesempatan tampil ke publik terbatas. Tipe penonton di Indonesia juga sangat beragam, dan lewat Layaria diharapkan penonton dan creator bisa terhubung. 

Menyelami ranah video lokal dan tantangan video viral 

Pada awal merintis Layaria, Dennis mengaku bila ia dan timnya sempat berkeliling Indonesia untuk menyelami perkembangan dunia video lokal dan minat masyarakatnya sendiri. “Setahun pertama, alokasi budget dan waktu kami habiskan untuk mengunjungi tiap-tiap kota dan membuat meet-up rutin,” jelasnya. Dari sanalah Dennis dan timnya mendapat input baru yang kebanyakan mematahkan teori lama yang selama ini menjadi pegangan. 

Sebagai penyedia konten video, Dennis juga mengaku harus mencari cara yang tepat agar sebuah video bisa menjadi viral. 

Brand yang bekerja sama dengan kami selalu menginginkan itu. Padahal ukuran viral sendiri selalu berubah seiring waktu. Di tahun 2011 misalnya, sebuah video dikategorikan viral bila mencapai jutaan view. Namun sekarang arti dari video viral sendiri sudah bergeser. Tidak perlu lagi dilihat jutaan kali, bahkan cukup puluhan ribu, namun bisa menghasilkan “cover version” atau video turunan yang diunggah oleh audience dalam jumlah yang signifikan. 

Perubahan yang cepat di dunia video sendiri membuat Dennis harus peka terhadap beragam fenomena baru yang sedang terjadi dan mengaplikasikannya ke Layaria.

Dukungan masyarakat luar Jakarta


Meskipun konten video identik diminati oleh masyarakat urban yang tinggal di kota-kota besar, mayoritas creator partner Layaria justru hadir dari luar Jakarta. Menurut Dennis, saat ini Layaria sudah memiliki lebih dari 70 creator partner dan ratusan associate yang tersebar di 14 kota di Indonesia. Untuk terus meningkatkan kualitas konten yang dihasilkan, Layaria juga terus membuat program inkubasi dan edukasi untuk para creator partner baru. 

Proses monetisasi Layaria sendiri dilakukan dengan membuat video sebaik dan sesering mungkin, dimana nantinya mereka akan mendapatkan profit share dari iklan YouTube. Layaria sendiri telah mengantongi status premium partner dengan website video sharing populer tersebut. “Di luar itu, masing-masing creator partner juga akan kami hubungkan dengan brand sehingga mereka bisa mendapatkan sponsorship dan endorsement. Dari sana kami akan mendapat management fee dan profit sharing ,” jelas Dennis. Selain itu, Layaria juga kerap membuat event dengan para creator partner, baik untuk kepentingan promosi maupun komersial. 

Investor dan target 

Tiga tahun berjalan, Dennis sebagai founder dan CEO kini sudah memiliki 14 karyawan, masing-masing terbagi dalam Business Development, AE, Production Manager, Partners Manager, Digital Strategist, Sales dan Finance. Sementara untuk investor, Dennis mengaku saat ini Layaria masih berjalan secara bootstrap. 

Sebagai startup yang bergerak di bidang video, tentu Dennis sadar bila Layaria memiliki kompetitor seperti Nyunyutube, atau kompetitor tidak langsung seperti Zeemi.TV. Namun Dennis mengaku cukup percaya diri dengan dukungan creator partner yang tersebar luas di seluruh Indonesia. 

Untuk mendukung produksi konten video di platformnya, Layaria kini sudah memiliki studio di Jakarta dan Surabaya. Dalam waktu dekat, startup yang menargetkan ingin menjadi multi channel network paling berpengaruh se-Asia Tenggara ini juga berencana membangun dua studio lagi. “Untuk kota mananya belum bisa diberitahu, sabar dan nantikan saja,” tutup Dennis. 


(Diedit oleh Lina Noviandari)


Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com