Sunday 22 March 2015

Founder Stories Urbanindo: Bermimpi menjadi stock trader, namun memilih jadi enterpreneur


Apa yang akan Anda lakukan bila berkesempatan tinggal di negara super power selama belasan tahun, berpeluang mendapat pekerjaan di perusahaan bergengsi, serta banyak mengenal orang-orang penting dari berbagai latar belakang disiplin ilmu? Mungkin sebagian orang akan memilih bekerja di tempat bergengsi dan mendapat penghasilan yang layak. Namun ada juga yang memilih jalan berbeda dengan menceburkan diri ke ranah yang bisa jadi tidak terpikirkan sebagian orang, menjadi entrepreneur. Di sela waktu senggangnya, founder Urbanindo, Arip Tirta berbagi cerita mengenai perjalanannya menyelami dunia startup kepada Tech in Asia. 

Belajar dari booming Internet 

Tidak dipungkiri bila kemunculan perusahaan raksasa berbasis Internet banyak mengubah cara pandang orang. Google, Ebay, Amazon, Yahoo dan Paypal adalah beberapa perusahaan yang terus meroket seiring semakin tingginya kebutuhan orang dalam menggunakan internet. Momen yang terjadi di akhir 90-an ini membuat letupan kecil di diri Arip untuk melakukan sesuatu berbasis internet. 

Di era 2000-an, Arip berkaca dari kemunculan perusahaan teknologi besar seperti YouTube, Facebook, Kayak, dan Zillow. Booming web 2.0 yang berasal dari Amerika menurutnya membuat orang-orang di sana mendefinisikan ulang bisnis. “Kondisi ini banyak mengubah pandangan orang, tidak hanya dari kacamata bisnis, namun juga hidup,” jelas pria yang sempat tinggal di Amerika selama 15 tahun ini. 

Sebagai saksi dari dua ‘ledakan’ teknologi, Arip melihat bila saat ini di Indonesia tengah terjadi booming pertama teknologi. Tak mau kehilangan kesempatan untuk perubahan besar, Arip memutuskan untuk menceburkan diri ke dunia startup.

“Banyaknya tech startup yang terus bermunculan belakangan ini mengindikasikan bila nantinya akan muncul beberapa yang membesar dan mendefinisikan Indonesia. Jujur saja, ada keinginan dalam diri untuk menjadi bagian dari ‘evolusi’ itu. Cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan mendirikan startup sendiri dan berkecimpung di dalamnya secara langsung.” 

Putar haluan di penghujung masa kuliah

Adalah hal yang lumrah bagi seorang mahasiswa ketika masih mencari-cari apa yang akan dilakukannya usai lulus kuliah. Pun dengan Arip, ia sempat bermimpi bekerja di Wallstreet. Namun tidak ada yang tahu apa yang terjadi esok hari, berawal dari kesempatan magang di sebuah VC, ia mendapat pemikiran baru tentang pekerjaan yang menurutnya ideal. Sebagai karyawan magang, saat itu Arip sudah menerima bayaran. Namun yang menurutnya lebih istimewa adalah kesempatan belajar banyak hal. “Tidak hanya teknologi, tapi juga farmasi sampai perangkat medis,” jelas Arip. 

”Saya mengunjungi banyak perusahaan dan mereka tengah mengerjakan sesuatu yang cutting edge. Tidak hanya itu, saya juga bisa berinteraksi dengan foundernya dan belajar banyak mengenai masalah yang ia temukan dan bagaimana cara menyelesaikannya. Dari sana saya mulai mempelajari cara mereka berpikir bagaimana produk buatannya bisa menjadi sesuatu yang dibutuhkan banyak orang,” 

Keuntungan lain yang didapat dari magang di VC menurut Arip adalah kesempatan untuk menjadi “walking Wikipedia”. Rasanya tidak berlebihan karena Arip mempelajari banyak bidang dan secara otomatis berinteraksi dengan banyak orang dari beragam disiplin ilmu. “Mulai dari ahli keamanan informasi, pakar sosial media, sampai dokter bedah jantung bisa saya kenal,” tambahnya. 

Disangka akan membangun warnet 

Booming startup di Indonesia memang baru terjadi dalam dua sampai tiga tahun ke belakang. Tak pelak ketika Arip yang sudah belasan tahun tinggal di Amerika dan memutuskan kembali ke Indonesia mengundang sejumlah pertanyaan, utamanya dari teman dan keluarga terdekat. 

”Ketika saya menjawab akan mendirikan internet company mereka mengira saya akan berbisnis warung internet.” 

Tentu saja Arip tidak mempedulikan anggapan itu, namun masalah setelahnya muncul lagi ketika ia mengatakan akan membangun bisnis di bidang properti. “Mereka menyangka saya akan membuat website-website untuk perusahaan properti sehingga orang-orang bisa memasarkan propertinya sendiri di situs mereka,” bebernya. 

Antara Marc Andreessen dan Ernest Hemmingway 

Arip termasuk orang yang percaya dengan pentingnya role model. Dalam hal ini, founder Netscape Marc Andreessen menjadi pilihan. Menurutnya, Marc adalah seorang visioner dengan cara berpikir yang sangat mendalam. “Caranya dalam membangun bisnis sangat praktis dan cocok untuk entrepreneur mengembangkan startupnya menjadi the next big thing,” jelas Arip. 

Sementara Ernest Hemmingway dipilih karena ia tengah membaca buku The Old Man and The Sea untuk kedua kalinya. Bagi Arip, pelaku startup bisa belajar banyak dari buku ini. Mulai dari soal passion, sampai pemecahan masalah. “Sampai masalah pivoting dibahas juga di sini. Banyak hal yang tidak bisa ditebak dari dunia startup. Oh iya ada quotes yang sangat saya suka:“A man can be destroyed but not defeated”,” tambahnya. 

Diving dan yoga

Pria yang menyukai kopi di pagi hari ini mengaku salah satu tantangan terbesar saat menyelami startup adalah tingginya tingkat stress. Menurut Arip, cara termudah menyiasati ini adalah dengan belajar melakukan yoga. “Ini salah satu cara untuk bisa melewatinya.” Cara lain yang biasa dilakukan Arip adalah dengan travelling dan diving. “Ini salah satu yang membuat saya kembali ke Indonesia. Di sini surga untuk traveller dan diver,” ujarnya. 

Di penghujung perbincangan, Arip juga menyampaikan bila ia selalu khawatir saat suatu hari terasanya nyaman dengan keadaan bisnisnya yang membuat dirinya berhenti berinovasi. “Makanya, tingkat stress tinggi tadi ada baiknya dibiarkan selalu ada.”


Sumber: idtechinasia

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com