Liem Sioe Liong alias Sudono Salim, seperti yang anda ketahui, telah wafat pada tanggal 10 Juni 2012 kemarin, pada usia 95 tahun (atau tepatnya 96 tahun kurang 1 bulan). Meski telah tiada, namun Om Liem, demikian beliau biasa disapa, akan selalu dikenang sebagai pendiri dari salah satu grup usaha terbesar dalam sejarah Republik Indonesia, Grup Salim. Sebagai seorang taipan, maka tentu banyak hal yang bisa dipelajari dari sosok Om Liem. Seorang teman penulis pernah berkata, ‘Semua orang juga tahu bagaimana Om Liem merangkak susah payah dalam membangun imperium bisnisnya. Beliau adalah contoh sempurna bagi siapapun yang hendak sukses dalam merintis usaha dari titik nol.’
<!–more–>
Om Liem (kita singkat saja Liem) lahir di Distrik Fuqing, Provinsi Fujian, Tiongkok, pada tahun 1916. Pada masa itu negeri Tiongkok sedang dilanda konflik dan perang berkepanjangan dengan bangsa Jepang, sehingga Liem kecil dan keluarganya tidak pernah merasa tentram untuk hidup sebagai keluarga petani. Hal ini mendorong kakak Liem, Liem Sioe Hie, untuk mencari penghidupan yang lebih baik diluar negeri, dan tujuannya adalah ke arah selatan, ke sebuah kota bernama Kudus. Pada tahun 1938, pada usia 22 tahun, Liem kemudian menyusul kakaknya. Kapal layar yang membawa Liem mendarat di Surabaya, dan empat hari kemudian kakaknya berhasil menemuinya untuk kemudian membawanya ke Kota Kudus, Jawa Tengah.
Di Kudus, Liem bekerja di sebuah pabrik tahu dan kerupuk. Tidak seperti pekerja pabrik lainnya yang hanya bekerja rutin saja seperti biasa, Liem memperhatikan bahwa di Kota Kudus terdapat banyak industri rokok kretek, dan industri tersebut membutuhkan tembakau dan cengkeh dalam jumlah besar setiap tahunnya. Liem menangkap peluang tersebut, dan ia segera mencoba usaha perdagangan tembakau dan cengkeh, kemungkinan berbekal modal dari mertuanya yang kebetulan saudagar terpandang (Liem menikah dengan istrinya, Liliani, pada usia 24 tahun). Dan ternyata peruntungannya lebih ke cengkeh. Pada awal tahun 1940-an, pada usia 25 tahun, Liem sudah menjadi salah satu bandar cengkeh yang cukup besar di Kudus. Pada usia semuda itu, koneksinya sudah tersebar hingga ke perkebunan-perkebunan cengkeh di Sumatera dan Sulawesi.
Namun kejayaan usahanya hanya seumur jagung. Pada tahun 1942, Jepang mendarat di Indonesia, dan menghentikan hampir seluruh kegiatan ekonomi masyarakat. Bisnis perdagangan cengkeh milik Liem seketika bangkrut, dan seluruh kegiatan usaha Liem berhenti sama sekali selama kurang lebih tiga tahun. Hingga akhirnya pada tahun 1945, setelah Jepang meninggalkan Indonesia, Liem melihat peluang bisnis yang lebih besar ketimbang kembali berdagang cengkeh, yaitu bisnis penyediaan logistik, obat-obatan, hingga persenjataan bagi para tentara revolusi, yang mempertahankan RI dari upaya Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Setelah mencari koneksi kesana kemari, Liem akhirnya bertemu dengan seseorang yang ternyata merupakan ayah dari Fatmawati, istri Bung Karno. Bisnis penyediaan logistik tentara milik Liem pun dimulai. Di ketentaraan, Liem berkenalan dengan banyak perwira TNI (Tentara Nasional Indonesia), terutama Mayor Kemal Idris, dan Letkol Soeharto.
Pada tahun 1950, Liem pindah ke Jakarta. Pada tahun-tahun ini Liem masih setia dengan bisnis penyediaan logistik untuk tentara, terutama Angkatan Darat. Pada awal tahun 1950-an pula, Liem mendirikan pabrik sabun untuk memenuhi kebutuhan tentara, dan juga pabrik-pabrik lainnya. Bisnisnya semakin maju seiring dengan menanjaknya karier rekan bisnisnya, Soeharto, di ketentaraan.
Cerita bisnis Liem terus berlanjut. Pada pertengahan 50-an, Liem melihat peluang di bisnis perbankan, setelah melihat banyak pelanggan usahanya yang tidak mampu membayar tunai dalam membeli barang yang ia jual, kecuali dengan cara kredit. Alhasil pada tahun 1957, Liem bersama pegawai kepercayaannya, Mochtar Riady, mendirikan Central Bank Asia, yang di tahun 1960 berubah nama menjadi Bank Central Asia (Bank BCA). Lalu, Liem juga melihat bahwa orang Indonesia sangat tergantung kepada nasi sebagai bahan pangan, padahal sumber pangan tidak hanya nasi. Visinya yang mengatakan bahwa rakyat Indonesia membutuhkan alternatif sumber pangan, mengantarkannya pada pendirian perusahaan perdagangan tepung terigu, PT Bogasari, pada tahun 1968.
Pada tahun yang sama ketika Bogasari berdiri, yaitu tahun 1968, Liem diperkenalkan oleh Pak Harto dengan sesama pengusaha asal Fujian, Djuhar Sutanto. Ketika itu Pak Harto sudah menjadi Presiden. Kedua pengusaha ini ternyata cocok, terlebih Djuhar juga pernah tinggal cukup lama di Kudus. Setahun kemudian, duet Liem-Djuhar mendirikan CV Waringin Kentjana (WK), perusahaan yang bergerak dalam bisnis ekspor impor komoditas, termasuk komoditas gandum (bahan baku tepung terigu). Melalui WK, Liem kemudian memperoleh izin impor gandum dari luar negeri untuk kemudian diolah menjadi tepung terigu di Indonesia. Bogasari kemudian berubah dari perusahaan perdagangan menjadi perusahaan produsen tepung terigu, dan berhasil mendirikan pabrik tepung terigu pertamanya pada tahun 1972, berlokasi di Tanjung Priok, Jakarta.
Di WK, Liem yang menempati posisi sebagai chairman, menemukan anak muda berbakat yang sebelumnya hanya merupakan karyawan dari mitra bisnis Djuhar, Lim Chin Song, bernama Ibrahim Risjad. Risjad kemudian diangkat sebagai direktur keuangan. Belakangan, sepupu Pak Harto yang bernama Sudwikatmono, juga bergabung sebagai direktur perizininan ekspor impor. Kwartet Liem-Djuhar-Risjad-Sudwi inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Grup Salim. Setelah sukses membangun pabrik tepung terigu untuk Bogasari, pada tahun 1974, Grup Salim mendirikan perusahaan semen, PT Indocement. Pada tahun 70-an ini, diluar trio BCA-Bogasari-Indocement, Grup Salim juga mendirikan banyak perusahaan dengan ukuran yang lebih kecil, yang bergerak di berbagai bidang. Diluar mengembangkan usaha milik sendiri, Grup Salim juga membantu seorang insinyur muda nan brilian, Ciputra, untuk mendirikan PT Metropolitan Kentjana, sebuah perusahaan properti.
Lalu dimana posisi Indofood? Indofood sebenarnya baru didirikan belakangan. Jadi ceritanya, setelah sukses dengan Bogasari, pada awal tahun 1980-an Liem mulai berpikir untuk membuat produk turunan dari tepung terigu, tentunya untuk menghasilkan nilai tambah yang pada akhirnya meningkatkan keuntungan perusahaan. Setelah mencoba membuat berbagai jenis produk, akhirnya pada tahun 1982, Liem menciptakan produk mie instan dengan merk Indomie. Tidak ada keterangan soal apakah ketika itu produk Indomie diletakkan dibawah Bogasari atau tidak, tapi yang jelas, nama ‘Indofood’ ketika itu belum ada. Selain Indomie, Grup Salim juga memproduksi berbagai jenis makanan lainnya.
Kemudian pada tahun 1990, Grup Salim mendirikan perusahaan makanan dengan nama PT Panganjaya Intikusuma, yang di tahun 1994 berubah nama menjadi PT Indofood Sukses Makmur. Seluruh usaha makanan milik Grup Salim termasuk Indomie kemudian diletakkan dibawah perusahaan baru ini, termasuk juga Bogasari yang diakuisisi pada tahun 1996. Pada masa itu Indofood hanya bermain di bisnis tepung terigu dan berbagai jenis makanan, dan belum masuk ke industri agribisnis seperti sekarang (CPO, tebu, karet, dll).
Puncak kejayaan bisnis Grup Salim boleh dikatakan terjadi pada awal tahun 1990-an. Pada tahun 1998, krisis moneter melanda Indonesia, dan Pak Harto lengser. Bisnis Grup Salim pun seketika hancur lebur, termasuk harus kehilangan dua aset utamanya, Bank BCA (ke Grup Djarum) dan Indocement (ke Heidelberg). Diluar itu beberapa aset lainnya yang juga terpaksa dilepas adalah Darya Varia Laboratoria, Indo Tambangraya Megah, dan Indosiar (tapi Indosiar berhasil diambil kembali), serta masih banyak lagi. Beruntung, Grup Salim berhasil mempertahankan Indofood. Pada momen ini Om Liem memutuskan untuk pensiun, dan kendali atas seluruh usaha Grup Salim diserahkan kepada putra bungsunya, Anthoni Salim (Anthoni, bukan Anthony).
Pasca krisis 1998, Grup Salim dibawah pimpinan Mr. Anthoni fokus untuk mengembangkan Indofood. Dalam sepuluh tahun terakhir, Indofood telah masuk ke bidang usaha produksi minyak goreng, margarin, susu, makanan bernutrisi, gula, kecap, dan penyedap makanan. Diluar Indofood, Grup Salim juga tetap berbisnis seperti biasanya, termasuk mengembangkan beberapa aset diluar Indonesia. Tapi kita tidak akan membahas ini lebih lanjut, karena ini adalah artikel tentang Om Liem, bukan Grup Salim-nya.
Pada tanggal 10 Juni 2012, empat belas tahun setelah hidup damai dalam masa pensiunnya, Om Liem akhirnya meninggal dunia. Bagi banyak anak muda seperti penulis, selalu menarik untuk mempelajari bagaimana cara Om Liem dalam merintis berbagai macam usaha hingga akhirnya sukses menjadi seorang konglomerat. Well, kita akan sharing sebagian diantaranya disini.
Rahasia Sukses Om Liem
Pertama, Om Liem adalah penganut kuat falsafah bisnis orang Tionghoa: Anda butuh apa, saya bisa sediakan. Ketika masih jadi pekerja pabrik tahu dan kerupuk, naluri dagang Om Liem langsung terbentuk ketika melihat banyak pabrik rokok yang membutuhkan cengkeh dan tembakau. Sehingga pada saat itu juga, beliau langsung berusaha untuk menjadi supplier cengkeh atau tembakau, yang kemudian sukses di cengkeh. Kemudian ketika pecah perang revolusi kemerdekaan antara RI – Belanda, Om Liem melihat bahwa tentara RI membutuhkan sabun, obat-obatan, dan persenjataan, dan seketika itu pula beliau berusaha menjadi supplier untuk barang-barang tersebut.
Poinnya disini adalah, jika anda mau punya usaha, maka jangan mencoba untuk memproduksi produk tertentu kemudian berusaha menjualnya, melainkan: Pertama-tama cari tahu terlebih dahulu, barang apa yang dibutuhkan oleh orang-orang disekitar anda, kemudian berusahalah untuk menyediakan dan menjual barang tersebut. Dijamin jualan anda akan laku karena sejak awal memang sudah ada pembelinya.
Kedua, Om Liem percaya, sangat percaya, bahwa dirinya beruntung dan bernasib baik. Dan faktanya Om Liem memang sangat beruntung. Oke, mari coba kita runut keberuntungan tersebut. Ketika masih sangat muda dan masih tinggal di Tiongkok, Liem lolos dari perekrutan paksa untuk menjadi tentara oleh Penjajah Jepang, dan berhasil naik ke kapal yang menuju ke Surabaya, dan kapal tersebut ternyata memang benar-benar berhasil mendarat di Surabaya. Ketika itu banyak sekali cerita-cerita yang menyebutkan bahwa banyak pemuda Tiongkok yang dibuang ke laut, kapalnya tenggelam disergap tentara Jepang, atau berhasil mendarat namun bukan di kota tujuan. Liem muda sangat beruntung bisa mendarat dengan selamat di Surabaya, yang memang merupakan kota tujuannya.
Tapi dengan mendaratnya Liem di Surabaya, bukan berarti tantangannya sudah selesai. Liem sempat menjadi gelandangan selama empat hari di pelabuhan, sebelum akhirnya kakaknya berhasil menjemputnya. Anda jangan berpikir bahwa ketika itu Liem bisa dengan mudah mengangkat Blackberry-nya kemudian berkata, ‘Kakak! Saya sudah sampai di Surabaya!’ (woi, di tahun 1938 belum ada BB!) Apalagi ketika itu kondisi Nusantara masih semrawut dibawah jajahan Belanda. Andai saja ketika itu Liem tidak berhasil bertemu kakaknya, maka mungkin Grup Salim juga tidak akan pernah ada.
Di Kudus, keberuntungan Liem berlanjut. Liem menikah dengan anak orang kaya, yang mengantarnya pada kesuksesan dalam merintis usaha perdagangan cengkeh (banyak literatur yang menyebutkan bahwa usaha Om Liem menjadi sangat maju setelah menikah). Terakhir, ketika dirinya dan ketiga temannya mengalami kecelakaan mobil pada tahun 1942, Liem dengan ajaibnya berhasil bertahan hidup, padahal ketiga temannya meninggal. Banyak yang mengatakan bahwa pasca kecelakaan itulah, Om Liem sadar bahwa dirinya selalu dinaungi nasib baik. Keyakinan akan nasib baik itulah yang kemudian membuatnya agresif dan tak kenal lelah dalam berbisnis.
Kata orang, jika anda percaya bahwa anda beruntung, maka anda akan beruntung. Jika anda percaya bahwa anda akan sukses, maka anda akan sukses. Yup, as simple as that. Pokoknya percaya saja dulu bahwa anda akan sukses, selanjutnya biarkan waktu yang menunjukkan jalannya. Om Liem adalah contoh nyata dari orang yang berhasil menerapkan tips motivasi tersebut.
Ketiga, Om Liem tahu persis bahwa koneksi adalah modal utama dalam berbisnis, yang bahkan lebih penting daripada modal dana. Sejak merintis bisnis cengkehnya, Om Liem sudah piawai dalam menjalin pertemanan dan relasi dengan siapa saja.
Saat ini, banyak orang yang mengira bahwa kesuksesan imperium bisnis Grup Salim adalah berkat koneksi langsung Om Liem dengan Presiden RI, Pak Harto. Hal itu mungkin memang benar. Tapi yang jarang diingat orang ialah, Om Liem sudah kenal dan menjalin hubungan baik dengan Pak Harto sejak awal tahun 50-an, atau jauh sebelum Pak Harto menjadi Presiden! Om Liem bukanlah orang picik ataupun politisi kutu loncat yang hanya mau berteman dengan penguasa. Dan faktanya, sejak pertama kali merintis usaha penyediaan logistik untuk tentara, Om Liem tidak hanya berteman dengan Pak Harto saja, melainkan juga dengan banyak tokoh-tokoh di jaman perang revolusi kemerdekaan (termasuk Mayor Kemal Idris yang sudah disebut diatas).
Seorang teman pernah berkata seperti ini kepada penulis: ‘Jika anda hendak sukses, maka jangan pilih-pilih teman. Bertemanlah secara tulus dengan siapa saja, jalinlah relasi dengan siapa saja, termasuk dengan orang yang bukan siapa-siapa. Jangan pernah meremehkan dan menyepelekan seseorang hanya karena dia bukan siapa-siapa. Anda tidak pernah tahu akan jadi apa orang yang bukan siapa-siapa tersebut, suatu hati nanti.’
Keempat, dan ini sebenarnya hanya tebakan penulis, sepertinya Om Liem memiliki prinsip bahwa untuk menjadi sukses, anda harus bisa membuat orang lain sukses. Kenapa begitu, karena bisa dibilang hampir semua anak didik dan partner bisnis Om Liem telah sukses menjadi konglomerat, tidak hanya di Grup Salim tapi juga di grup usaha milik mereka masing-masing. Diatas sudah disebutkan nama-nama seperti Mochtar Riady (Grup Lippo), Ibrahim Risjad (Grup Risjadson), Sudwikatmono (Grup Indika), dan Ciputra (Grup Ciputra). Sementara Djuhar Sutanto, meski tidak membangun grup usahanya sendiri hingga besar, namun juga menjadi konglomerat di dalam Grup Salim. Diluar nama-nama tersebut, pastinya Om Liem masih punya banyak ‘anak didik’ lainnya yang juga sukses. Di kalangan pengusaha muda terdapat nama pemilik CT Corp, Chairul Tanjung, dan pemilik Grup Bhakti, Hary Tanoesoedibjo.
Di Indonesia, yang namanya konglomerat memang banyak. Tapi konglomerat yang bisa mencetak konglomerat lainnya seperti Om Liem ini, ya mungkin cuma Om Liem saja. Yup, Om Liem tidak pernah mengekang anak buah dan partner bisnisnya dalam membangun perusahaan, melainkan justru senang jika melihat mereka bisa maju dan sukses. Prinsip yang sama juga diterapkan oleh salah satu bank investasi kenamaan Amerika, Goldman Sachs. Salah satu prinsip manajemen sumber daya manusia di Goldman adalah, perusahaan akan memberi kesempatan kepada karyawannya untuk berkembang lebih cepat, dibanding jika mereka bekerja di perusahaan lain. Bisa jadi prinsip inilah yang mengantarkan Grup Salim sukses menjadi konglomerasi terbesar di Indonesia, dan juga mengantarkan Goldman menjadi bank investasi terbesar di dunia, karena sebetulnya logikanya sederhana saja: Jika anda sanggup membuat karyawan anda menjadi kaya raya, apalagi anda sebagai bos-nya?
Terakhir kelima, Om Liem adalah pengusaha yang konservatif. Beliau tidak pernah mengincar kesuksesan instan dalam berbisnis, misalnya dengan cara leverage besar-besaran, atau financial engineering. Beliau hanyalah seorang pedagang, yang membuat produk, kemudian menjualnya, that’s it. Dan beliau sangat jenius dalam hal penciptaan produk yang bagus dan diterima konsumen. Bank BCA menjadi besar karena kualitas pelayanannya yang sangat baik terhadap nasabah (silahkan anda temui nasabah BCA yang sudah senior, dan tanyakan mana yang memberikan pelayanan perbankan yang lebih baik: BCA di tangan Om Liem dulu, atau BCA di tangan Grup Djarum sekarang?). Dan siapa yang meragukan Indomie sebagai produk makanan yang enak, mudah dimasak, mengenyangkan, dan murah?
Konsep berusaha dengan cara konservatif inilah, yang juga berhasil mempertahankan Grup Salim dari kebangkrutan karena krisis 1998. Yup, satu-satunya perusahaan yang tidak dijaminkan oleh Grup Salim dalam memperoleh pinjaman untuk ekspansi usaha, adalah Indofood. Sejak awal Om Liem tahu benar bahwa dalam kondisi terburuk yang bisa terjadi sewaktu-waktu, seluruh asetnya bisa lenyap seketika karena disita bank atau negara, namun Indofood sebagai perusahaan consumer goods tidak boleh menjadi bagian dari aset yang berisiko disita tersebut. Itu sebabnya meski Grup Salim akhirnya kehilangan BCA dan Indocement, namun Indofood berhasil dipertahankan.
Jadi pelajarannya disini adalah, sebaik dan sepercaya diri apapun anda dalam membangun perusahaan, namun ada baiknya jika anda tetap jaga-jaga untuk kemungkinan terburuk, bukan begitu?
Tentunya, masih terdapat banyak hal yang bisa dipelajari dari almarhum Om Liem, namun berhubung artikel ini sudah kelewat panjang, selebihnya silahkan anda tambahkan sendiri.
Oh ya…sebelum anda protes, penulis akui bahwa artikel ini tidak berkaitan dengan investasi saham sama sekali. Artikel ini penulis dedikasikan untuk menghormati Om Liem, atas jasa-jasanya dalam membangun perekonomian negeri. Terlepas dari segala kontroversi yang mengkait-kaitkan beliau dengan rezim Orde Baru, namun di mata penulis, Om Liem adalah salah satu partner utama dari Bapak Pembangunan, Pak Harto, dalam kapasitasnya sebagai pengusaha yang menggerakkan roda perekonomian. Sebagai negara berkembang, Indonesia tidak memiliki banyak merk produk yang go international dan dikenal baik di pasar global. Kita patut berbangga dengan Indomie, yang menjadi salah satu dari sedikit produk mampu go international tersebut. Kedepannya mudah-mudahan akan lebih banyak lagi pengusaha Indonesia yang mampu membuat produk inovatif dan go international, seperti mie instan merk Indomie tersebut, amin!
Salam Sukses WiraUsaha..ˆ?ˆ