Ide untuk membuat
artikel ini muncul ketika Apple secara resmi meluncurkan Apple Music, layanan streaming musik dengan sistem berlangganan.
Pengguna cukup membayar Rp69.000 per bulan untuk bisa menikmati lebih dari 31
juta koleksi musik yang dimiliki oleh Apple. Tarif tersebut tentunya jauh lebih
murah dibandingkan apabila Anda membeli CD atau musik digital melalui iTunes,
Google Play Music, atau Windows Store. Sebagai perbandingan, harga satu lagu di
masing-masing layanan ini berkisar antara Rp7.000 hingga Rp50.000, atau hingga
Rp120.000 untuk satu album.
Di
saat yang hampir bersamaan beberapa hari kemudian Scoop, aplikasi baca buku
dan majalah digital mengumumkan bahwa mereka menerapkan model bisnis
berlangganan serupa dengan nama all-you-can-read. Melalui layanan
ini, pengguna cukup membayarScoop Premium dengan harga Rp49.000 per bulan untuk
bisa menikmati semua koleksi buku dan majalah yang dimiliki oleh Scoop.
Apakah model bisnis ini merugikan atau menguntungkan
pembuat karya?
Pandangan saya dari
segi pengguna, hal ini tentunya sangat menguntungkan. Apalagi jika
konten-konten yang disediakan memang berkualitas. Misalnya musik-musik yang
disediakan oleh Apple menggunakan format ALAC yang rata-rata berukuran 7 MB
hingga 15 MB dengan bit rate 384 kHz dan diklaim memiliki kualitas
yang setara dengan CD.
Lalu
bagaimana dengan para musisi atau penerbit buku, apakah mereka diuntungkan atau
dirugikan? Bila berkaca pada dua contoh layanan yang sudah menggunakan layanan
berlangganan, di Amerika Serikat sendiri pihak Apple akan membayar 71,5
persen dari total
hasil pendapatan Apple Music kepada publisher atau musisi.
Sedangkan
untuk di luar Amerika Serikat, persentase yang didapat akan lebih tinggi (bisa
mencapai 73 persen). Saat ini Apple Music sedang menerapkan masa trial,
dimana menurut laporan Billboard,
pihak Apple akan membayar $0,00047 untuk setiap stream kepadapublisher.
Itu berarti, untuk setiap 1.000 kali stream pihak Apple akan memberikan $0,47
(Rp6.000) kepada publisher.
Kemudian
bagaimana dengan Scoop Premium? Sebelum menawarkan model bisnis tersebut, pihak
Scoop mengklaim bahwa pengguna mereka rata-rata menghabiskan sekitar Rp50.000
per bulan untuk membeli buku atau majalah digital. Sehingga menurut pendapat
CEO Apps Foundry Willson Cuaca, “tarif tersebut akan menarik minat pengguna
Scoop saat ini dan juga masih berada dalam tarif yang wajar”.
Tidak
hanya itu, pihak Scoop juga mengklaim bahwa mereka menerima lebih dari 1.000
pelanggan baru hanya dalam tiga hari setelah opsi tersebut diluncurkan. Apabila
pembagian komisi atau persentase ke penerbit masih sama, maka dengan model
bisnis tersebut tentunya akan lebih menguntungkan.
Memerlukan data digital yang banyak dan eksklusif
Model bisnis ini
sebenarnya bukanlah konsep baru karena sudah banyak perusahaan, khususnya
perusahaan yang menyediakan konten digital berupa musik, buku, dan video; telah
menerapkan model ini. Misalnya untuk konten musik di Indonesia ada Guvera, MixRadio,
dan Deezer.
Sedangkan untuk konten video, ada Genflix dan layanan streaming terkemuka
di Amerika Serikat yaitu Netflix.
Bagaimanapun,
model bisnis berlangganan tentunya mengharuskan perusahaan untuk memiliki
koleksi data digital yang sangat banyak dan eksklusif. Karena banyaknya koleksi
yang dimiliki akan menjadi nilai lebih dan menjadi alasan yang kuat untuk
menarik konsumen menggunakan produk tersebut.
Jadi apakah model bisnis seperti ini akan menjadi tren?
Dari
analisis singkat di atas, model bisnis berlangganan ini menurut saya bisa
dibilang menguntungkan kedua belah pihak. Dari sisi pengguna, mereka dapat
menikmati lebih banyak konten dengan harga yang lebih terjangkau. Sedangkan
dari sisi publisher,
mereka masih tetap mendapatkan pemasukan yang tidak jauh beda dari model bisnis pay-per-download.
Akan
tetapi satu hal yang perlu digarisbawahi dengan model bisnis tersebut adalah
pengguna tidak memiliki konten yang telah mereka beli. Melainkan hanya meminjam
sementara dan tidak bisa dinikmati lagi setelah mereka berhenti berlangganan.
Hal ini tentunya berbeda dengan sistem pay-per-download pada umumnya, yang membuat pengguna
mempunyai hak milik atas konten yang telah mereka bayar.
Selain
itu, salah satu tantangan yang dihadapi penerapan model bisnis ini di tanah air
adalah masalah pembayaran. Penetrasi kartu kredit di negara berkembang seperti Indonesia
tergolong masih rendah dan sebagian besar transaksi online dilakukan melalui ATM transfer. Solusi
yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan sistem potong pulsa, yang juga telah
diterapkan oleh Google pada toko aplikasi mereka. Yang pasti, semakin mudah
sistem pembayaran yang diterapkan, maka layanan akan lebih banyak menjangkau
pengguna.
Lalu
bagaimana menurut Anda, apakah model bisnis tersebut menguntungkan atau malah
merugikan. Dan apakah ini akan menjadi tren model bisnis bagi perusahaan
teknologi lainnya di masa depan? Silakan utarakan pendapat Anda pada kolom
komentar di bawah.
(Diedit oleh Lina Noviandari)
Sumber: Idtechinasia