Wednesday, 8 July 2015

Apakah Sistem Berlangganan Akan Menjadi Tren Model Bisnis Perusahaan Teknologi?

Ide untuk membuat artikel ini muncul ketika Apple secara resmi meluncurkan Apple Music, layanan streaming musik dengan sistem berlangganan. Pengguna cukup membayar Rp69.000 per bulan untuk bisa menikmati lebih dari 31 juta koleksi musik yang dimiliki oleh Apple. Tarif tersebut tentunya jauh lebih murah dibandingkan apabila Anda membeli CD atau musik digital melalui iTunes, Google Play Music, atau Windows Store. Sebagai perbandingan, harga satu lagu di masing-masing layanan ini berkisar antara Rp7.000 hingga Rp50.000, atau hingga Rp120.000 untuk satu album.
Di saat yang hampir bersamaan beberapa hari kemudian Scoop, aplikasi baca buku dan majalah digital mengumumkan bahwa mereka menerapkan model bisnis berlangganan serupa dengan nama all-you-can-read. Melalui layanan ini, pengguna cukup membayarScoop Premium dengan harga Rp49.000 per bulan untuk bisa menikmati semua koleksi buku dan majalah yang dimiliki oleh Scoop.

Apakah model bisnis ini merugikan atau menguntungkan pembuat karya?


Pandangan saya dari segi pengguna, hal ini tentunya sangat menguntungkan. Apalagi jika konten-konten yang disediakan memang berkualitas. Misalnya musik-musik yang disediakan oleh Apple menggunakan format ALAC yang rata-rata berukuran 7 MB hingga 15 MB dengan bit rate 384 kHz dan diklaim memiliki kualitas yang setara dengan CD.
Lalu bagaimana dengan para musisi atau penerbit buku, apakah mereka diuntungkan atau dirugikan? Bila berkaca pada dua contoh layanan yang sudah menggunakan layanan berlangganan, di Amerika Serikat sendiri pihak Apple akan membayar 71,5 persen dari total hasil pendapatan Apple Music kepada publisher atau musisi.
Sedangkan untuk di luar Amerika Serikat, persentase yang didapat akan lebih tinggi (bisa mencapai 73 persen). Saat ini Apple Music sedang menerapkan masa trial, dimana menurut laporan Billboard, pihak Apple akan membayar $0,00047 untuk setiap stream kepadapublisher. Itu berarti, untuk setiap 1.000 kali stream pihak Apple akan memberikan $0,47 (Rp6.000) kepada publisher.
Kemudian bagaimana dengan Scoop Premium? Sebelum menawarkan model bisnis tersebut, pihak Scoop mengklaim bahwa pengguna mereka rata-rata menghabiskan sekitar Rp50.000 per bulan untuk membeli buku atau majalah digital. Sehingga menurut pendapat CEO Apps Foundry Willson Cuaca, “tarif tersebut akan menarik minat pengguna Scoop saat ini dan juga masih berada dalam tarif yang wajar”.
Tidak hanya itu, pihak Scoop juga mengklaim bahwa mereka menerima lebih dari 1.000 pelanggan baru hanya dalam tiga hari setelah opsi tersebut diluncurkan. Apabila pembagian komisi atau persentase ke penerbit masih sama, maka dengan model bisnis tersebut tentunya akan lebih menguntungkan.

Memerlukan data digital yang banyak dan eksklusif


Model bisnis ini sebenarnya bukanlah konsep baru karena sudah banyak perusahaan, khususnya perusahaan yang menyediakan konten digital berupa musik, buku, dan video; telah menerapkan model ini. Misalnya untuk konten musik di Indonesia ada GuveraMixRadio, dan Deezer. Sedangkan untuk konten video, ada Genflix dan layanan streaming terkemuka di Amerika Serikat yaitu Netflix.
Bagaimanapun, model bisnis berlangganan tentunya mengharuskan perusahaan untuk memiliki koleksi data digital yang sangat banyak dan eksklusif. Karena banyaknya koleksi yang dimiliki akan menjadi nilai lebih dan menjadi alasan yang kuat untuk menarik konsumen menggunakan produk tersebut.

Jadi apakah model bisnis seperti ini akan menjadi tren?

Dari analisis singkat di atas, model bisnis berlangganan ini menurut saya bisa dibilang menguntungkan kedua belah pihak. Dari sisi pengguna, mereka dapat menikmati lebih banyak konten dengan harga yang lebih terjangkau. Sedangkan dari sisi publisher, mereka masih tetap mendapatkan pemasukan yang tidak jauh beda dari model bisnis pay-per-download.
Akan tetapi satu hal yang perlu digarisbawahi dengan model bisnis tersebut adalah pengguna tidak memiliki konten yang telah mereka beli. Melainkan hanya meminjam sementara dan tidak bisa dinikmati lagi setelah mereka berhenti berlangganan. Hal ini tentunya berbeda dengan sistem pay-per-download pada umumnya, yang membuat pengguna mempunyai hak milik atas konten yang telah mereka bayar.
Selain itu, salah satu tantangan yang dihadapi penerapan model bisnis ini di tanah air adalah masalah pembayaran. Penetrasi kartu kredit di negara berkembang seperti Indonesia tergolong masih rendah dan sebagian besar transaksi online dilakukan melalui ATM transfer. Solusi yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan sistem potong pulsa, yang juga telah diterapkan oleh Google pada toko aplikasi mereka. Yang pasti, semakin mudah sistem pembayaran yang diterapkan, maka layanan akan lebih banyak menjangkau pengguna.
Lalu bagaimana menurut Anda, apakah model bisnis tersebut menguntungkan atau malah merugikan. Dan apakah ini akan menjadi tren model bisnis bagi perusahaan teknologi lainnya di masa depan? Silakan utarakan pendapat Anda pada kolom komentar di bawah.
(Diedit oleh Lina Noviandari) 

Sumber: Idtechinasia


Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com