Influencer bisa diartikan sebagai orang-orang yang memiliki kekuatan untuk memengaruhi keputusan orang lain karena otoritas, pengetahuan, posisi, atau hubungan yang mereka miliki. Para influencer di media sosial bisa datang dari berbagai latar belakang, namun semuanya memiliki kesamaan, yaitu memiliki ribuan orang (atau bahkan lebih) yang mengikuti konten buatan mereka.
Para influencer biasanya menawarkan layanan testimonial berbayar yang bisa dimanfaatkan pengiklan untuk memasarkan sebuah produk atau jasa ke para pengikutnya. Walaupun cukup membantu, bisa jadi para pengiklan agak kerepotan dalam memantau performa sebuah iklan atau kampanye pemasaran yang dilakukan oleh para influencer. Apalagi, jika kamu sebagai pengiklan menggunakan beberapa influencer untuk mempromosikan produk.
Selain sulitnya melakukan tracking, ada juga satu masalah yang sering kali dihadapi oleh pelaku usaha yang ingin menggunakan jasa influencer. Mencari influencer yang cocok dengan produk dan mau mempromosikan merek tersebut di akun media sosial masing-masing juga merupakan tantangan tersendiri.
Aghnia Syahputra dan Omega Tamboen mendirikan Mamorae untuk menyiasati permasalahan tersebut. Mamorae adalah startup pemasaran digital yang mempertemukan pelaku bisnis dengan para pengguna media sosial yang dapat menjadi influencer bagi suatu produk.
Berawal dari pengalaman pribadi
Aga, begitu Aghnia biasa disapa, bercerita tentang pengalamannya saat menggunakan jasa influencer. Ia merasa kurang puas dengan hasil yang didapat. Selain itu, ia tidak dapat mengukur performa dan pengaruh iklan yang dilakukan oleh para influencer tersebut secara efisien.
“Jika seseorang memiliki seribu follower, belum tentu dapat menjadi seribu transaksi. Agak susah untuk mengukur impak yang didapat saat bekerja dengan influencer. Lebih buruk lagi, beberapa dari mereka tidak peduli dengan produk. Padahal, eksekusi pada marketing adalah salah satu hal yang penting untuk diperhatikan,” tambah Aga.
Hal tersebut kemudian menginspirasi Aga untuk menciptakan sebuah tool guna menyelesaikan permasalahan tersebut. Ide untuk mendirikan Mamorae dimulai sejak bulan September 2015.
Setelah melewati proses validasi selama dua bulan pada Januari 2016, Mamorae kemudian mulai dieksekusi pada Maret 2016. “Produk kami pertama kali live pada minggu pertama Juni 2016, dan kami mendapatkan pelanggan berbayar pertama pada awal September,” kenang Aga yang juga memegang posisi CEO dalam startup ini.
Simbiosis mutualisme antara influencer dan pelaku usaha
Mamorae memungkinkan pelaku usaha dan influencer sama-sama mendapatkan keuntungan. Untuk itu, mereka membagi layanannya menjadi dua, yaitu Mamo untuk Buzzer dan Mamo untuk Merchant.
Sumber gambar: Mamorae
|
Mamo untuk Buzzer memberikan kesempatan bagi pengguna media sosial untuk memanfaatkan akun mereka sebagai sumber penghasilan tambahan. Caranya, dengan menjadikan akun media sosial mereka sebagai medium pemasaran bagi para pelaku bisnis lokal.
Influencer bisa membagikan konten promosi dari sebuah produk atau jasa yang biasanya berbentuk foto di media sosial. Sebagai imbalannya, mereka akan mendapatkan saldo yang nantinya bisa ditukarkan dengan promosi atau diskon dari merek-merek yang bekerja sama dengan Mamorae.
Sementara itu, Mamo untuk Merchant menyediakan serangkaian fitur yang dapat digunakan oleh para pengiklan untuk memantau iklan dan performa dari influencer. Kamu bisa mengatur jadwal dan detail iklan yang akan disebarkan, juga memantau perkembangan serta traksi iklan di media sosial.
Salah satu fitur Mamorae juga memungkinkan pelaku usaha untuk menjalin komunikasi dengan para influencer yang tertarik untuk mempromosikan produk tersebut di akun media sosial mereka.
Tantangan mengedukasi influencer berkualitas
Sumber gambar: Pexels
|
Menurut Aga, beberapa kendala sempat dihadapinya dalam menjalankan Mamorae. “Tantangan terberatnya adalah saat melihat kualitas influencer. Karena kita bermain di model peer to peer influencing, kami harus memastikan kalau setiap influencer dapat memberikan pengaruh untuk para Merchant,” kata Aga.
Solusinya, Mamorae mencoba mengedukasi mereka dengan menyediakan informasi tentang bagaimana layaknya menjadi seorang influencer. Tentunya, dalam konten yang mudah dicerna. “Kami mencoba berbicara dengan bahasa mereka dan memastikan setiap call to action disampaikan dengan bahasa yang sederhana,” ujar Aga.
Selain mengakuisisi influencer yang berkualitas, tantangan lainnya yang dihadapi Aga dalam mendirikan Mamorae adalah dalam merekrut tim yang dapat mendukung tercapainya visi Mamorae.
Sejak pertama kali diperkenalkan ke publik hingga saat ini, Mamorae mengklaim telah menjangkau 31 kota di Indonesia. Mereka juga memiliki lebih dari lima ribu influencer terdaftar, dan telah berhasil bekerja sema dengan 83 Merchant, di antaranya adalah sejumlah startup seperti ZenRooms, Scoop, dan Carafun.
Selain Mamorae, startup lain asal Indonesia yang juga menghubungkan pelaku usaha dengan influencer adalah BuzzHero dan Sociabuzz. Model bisnis serupa sepertinya agak cukup diminati, mengingat saat ini banyak orang yang memanfaatkan media sosial sebagai sarana promosi. Ditambah lagi, media sosial yang seakan memiliki pengaruh besar untuk mempengaruhi orang lain.
Keberadaan platform sejenis akan dapat membantu para pelaku usaha dalam mengembangkan bisnis mereka. Tentunya, didukung dengan kualitas atau reputasi influencer yang baik dan pelaku usaha yang cerdas memilih influencer.
(Diedit oleh Iqbal Kurniawan dan Septa Mellina; Sumber gambar: Pexels)
Sumber: techinasia