Thursday, 30 June 2016

Founder Startup Harus Memperhatikan 6 Aturan Pajak di Indonesia




Perkembangan bisnis digital yang kian pesat ternyata juga mengundang perhatian dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak. Pada bulan Maret 2016 yang lalu, Direktur Jenderal Pajak Ken Dwi jugi asteadi bahkan menjelaskan rencananya untukmengenakan pajak dalam seluruh transaksi online yang berlangsung di Indonesia. 

Masalahnya, cukup banyak founder startup di tanah air yang hanya mempunyai latar belakang pendidikan teknologi dan tidak begitu mengenal aturan pajak. Untuk menjawab masalah tersebut, Solihin Makmur Alam (Founding Partner dari SMACO Tax Advisory Services) coba menjelaskan tentang aturan-aturan umum perpajakan dalam sebuah acara yang berlangsung di EV Hive, Jakarta.  

Berikut ini adalah beberapa hal terkait aturan pajak yang menurut Solihin harus dipahami oleh para founder startup di Indonesia.

Pentingnya membuat badan hukum


Solihin seperti memahami kalau biasanya startup dimulai dengan tim yang kecil, dan tidak begitu ingin dipusingkan dengan pembentukan badan hukum dan aturan perpajakan. “Namun lambat laun kalian tetap harus membuat badan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), karena kalian tidak bisa mendapat investasi bila belum berbadan hukum,” jelas Solihin.  

Keuntungan lain membuat PT adalah risiko yang kecil apabila terjadi masalah di kemudian hari. “Dalam sebuah PT, apabila terjadi masalah dan harus ada penyitaan misalnya, maka setiap stakeholder hanya akan menerima kerugian sesuai dengan modal yang mereka masukkan. Tidak akan ada gangguan terhadap dana pribadi mereka. Inilah yang membedakan PT dengan CV dan perusahaan pribadi,” ujar Solihin.

Jangan gunakan rekening pribadi untuk kepentingan usaha  


Ada beberapa orang yang saat ini berusaha “menghindari” pajak dengan cara menjalankan bisnis menggunakan rekening pribadi. Namun menurut Solihin, hal tersebut justru bisa menjadi masalah apabila diketahui oleh petugas pajak. “Mereka bisa meminta bank untuk memperlihatkan setiap transaksi yang terjadi di rekening kita, dan mengenakan pajak terhadapnya,” jelas Solihin. 

Tidak membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) agar terbebas dari tagihan dan kewajiban melaporkan pajak juga bukanlah sebuah solusi yang baik. Masyarakat Indonesia praktis akan membutuhkan NPWP, terutama ketika mereka akan membeli aset berupa rumah atau tanah.  

Dirjen Pajak sudah mengenali berbagai model bisnis startup  


Startup memang mempunyai berbagai macam model bisnis, yang terkadang sulit dipahami oleh masyarakat luas. Namun Dirjen Pajak ternyata sudah berusaha mengenali model-model bisnis tersebut, dan menetapkan pajak apa saja yang bisa dikenakan. Contohnya dalam bisnis e-commerce, Dirjen Pajak telah membuat Surat Edaran Nomor SE-62/PJ/2013 yang membagi bisnis e-commerce menjadi Online Marketplace, Classified Ads, Daily Deals, dan Online Retail.  

Puspita Wulandari, Staf Ahli Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk bidang Pajak, pernah menjelaskan di ajang IESE 2016 kalau penerapan pajak pada startup tidak ada bedanya dengan bisnis konvensional. Itulah mengapa startup yang bergerak di bidang jasa keuangan misalnya, akan dibebaskan dari ketentuan pajak seperti yang telah ditetapkan untuk bisnis jasa keuangan konvensional.  

Pajak Penghasilan (PPh) yang besar untuk startup yang merugi  


Salah satu ketentuan pajak yang harus dibayar oleh startup tanah air adalah Pajak Penghasilan (PPh). Layaknya industri lainnya, untuk setiap startup yang belum memiliki penghasilan di atas Rp4,8 miliar, maka mereka bisa memilih untuk tidak menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan hanya dikenakan PPh Final sebesar satu persen dari pendapatan kotor.  

Angka ini mungkin terkesan kecil. Namun karena dikenakan dari pendapatan kotor, maka PPh ini tentu akan memberatkan bagi kebanyakan startup yang sekarang tengah merugi.

Karena itu, Solihin memberikan pilihan untuk mendaftar sebagai PKP, bagi startup yang memang masih merugi. “PPh yang dibebankan memang lebih besar, yaitu 25 persen. Namun angka tersebut diambil dari pendapatan bersih, yang artinya startup tidak perlu membayar sepeser pun ketika tengah merugi,” ujar Solihin.  

Dilema Pajak Pertambahan Nilai (PPN)  


Bagaikan buah simalakama, menjadi PKP dan menghindari PPh ketika merugi ternyata juga bukan solusi yang ideal bagi startup di Indonesia. Karena dengan menjadi PKP, maka artinya mereka akan terkena kewajiban untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Konsep utama PPN sebenarnya memang hanya penggantian, karena kita bisa menerima kembali selisih dari PPN yang kita bayar dan PPN yang kita terima. “Namun dengan begitu, para konsumen nantinya pasti akan mengeluh karena harga yang kita tetapkan jadi lebih tinggi,” ujar Solihin.  

Pemerintah sebenarnya sudah memberikan fasilitas kepada startup yang penghasilannya masih di bawah Rp4,8 miliar untuk bebas dari pembayaran PPN. Namun itu artinya, mereka harus membayar PPh sebesar satu persen dari pendapatan kotor, seperti yang telah dijelaskan di atas.  

Pajak untuk layanan yang bersifat gratis  

Berbagai jenis pajak tentunya hanya akan dibebankan jika sebuah startup mendapat pemasukan dari pihak lain. Lalu bagaimana jika startup tersebut masih memberikan layanan secara gratis? Menurut Solihin, mereka tetap diharuskan membayar pajak.


“Untuk kasus seperti itu, petugas pajak akan menghitung biaya yang kamu keluarkan untuk merawat server, dan menetapkan pajak sebesar 10 persen dari biaya tersebut,” jelas Solihin.  

Aturan ini memang terasa sangat janggal, namun begitulah faktanya. “Apabila sebuah startup ingin aturan tersebut diubah, saya menyarankan untuk bergabung dengan asosiasi yang ada, karena pemerintah tidak akan mau mendengar masukan dari perseorangan,” jelas Solihin.  


(Diedit oleh Mohammad Fahmi; Sumber gambar: RestuBPR)
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com